Sabtu, 16 Juni 2012

TRADISI RUWATAN SANTRI DI DESA KUWOLU


BAB II
PEMBAHASAN

1.    Ruwatan
             Ruwatan adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai sarana penghilang kesialan. Ruwatan berasal dari kata “ruwat” dan mendapat suffix –an. “Ruwat” mengalami gejala bahasa metatesis dari kata “luwar” yang berarti terbebas atau terlepas. Ada tiga macam ruwatan dalam masyarakat Jawa, yakni ruwatan untuk pribadi, ruwat untuk lingkungan, dan ruwatan untuk wilayah.
          Ruwat diri sendiri dilakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan slametan, melakukan tapa brata. Pada saat itu, ruwatan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Pelaku sebagai wujud atau bentuk dari ruwatan, bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.
          Adapun yang dinamakan ruwatan lingkungan adalah ruwatan yang dilaksanakan untuk membersihkan lingkungan dari roh-roh jahat yang mengganggu lingkungan tersebut atau hal ini lebih disebut dengan “mageri”. Ruwatan ini bisa digunakan untuk memagari rumah, toko, ataupun tempat-tempat lain agar terhindar dari mara bahaya yang berasal dari gangguan makhluk-makhluk halus.
          Ruwat yang dilakukan untuk melindungi suatu kawasan atau wilayah tertentu itu adalah kegunaan dari ruwat wilayah. Dalam ruwat wilayah ini biasanya beban biaya pelaksanaannya ditanggung oleh semua masyarakat. Semisal jika ruwat ini dilakukan untuk wilayah desa, maka seluruh masyarakat desa bergotong royong untuk membantu mensukseskan ruwatan ini dengan cara membayar iuran dan membantu tenaga untuk persiapannya.
          Menurut kepustakaan “Pakem Ruwatan Murwakala” Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari serat Centhini (Sripaku Buwana V), orang-orang yang disyaratkan harus diruwat atau sukerta ada 60 macam, antara lain:
1.   Ontang-anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan
2.      Uger-uger lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3.      Sendang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang kedua perempuan.
4.      Pancuran kapit sendhang, yaitu 3 orang anak yang sulung dan yang bungu perempuan sedang anak yang kedua laki-laki.
5.      Anak bungkus, yaitu anak yang ketiga lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta)
6.      Anak kembar, yaitu 2 orang kembar putra atau kembar putri atau kembar “dampit” yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan)
7.      Kembang sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan.
8.      Kendhana-kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
9.      Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10.  Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan.
11.  Mancalaputra atau pandawa, yaitu 5 orang anak yang semuanya laki-laki
12.  Mancalaputri, yaitu 5 orang anak semuanya perempuan
13.  Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempua dan 1 orang anak laki-laki.
14.  Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan
15.  Julung pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16.  Julung wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari
17.  Julung sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang 
18.  Tiba ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19.  Jempina, yaitu anak yang baru berusia 7 bulan dalam kandungan sudah lahir.
20.  Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21.  Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22.  Wahana, yaitu anak yang lahir di halaman / pekarangan rumah
23.  Siwah / salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna.
          Anak-anak dengan kriteria tersebut diatas menurut orang-orang Jawa kuno adalah anak-anak yang harus diruwat karena mereka menanggung “sukerta” atau aib sehingga nuntuk menghilangkannya perlu diadakan ruwatan.
          Ruwatan ini dilakukan sebagai perlindungan bagi anak yang diruwat agar tidak dimangsa Batara Kala. Oleh orang zaman dulu, Batara Kala diibaratkan sebagai seorang raksasa besar yang akan memangsa manusia. Batara Kala adalah anak kandung dari Batara Guru yang secara tidak sengaja mengeluarkan sperma diatas lembu Andini ketika terbang diatas lautan. Batara Kala bisa juga dianalogikan sebagai kesialan yang diterima manusia karena tidak mampu memanfaatkan waktu semasa hidupnya. Hal ini bisa dikatakan demikian karena kata dasar “kala” mempunyai arti “waktu”, sehingga Batara Kala bisa diartikan waktu yang akan terbuang sia-sia karena keteledoran manusia yang tidak pernah disadari olehnya.
          Prosesi ruwatan ini diawali dengan persiapan sesajen yang disediakan untuk raksasa Batara Kala. Sesajen yang disediakan untuk santapan dan kesenangan Batara Kala antara lain:
1.    Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setundun, yang sudah matang dan baik, pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa dan daun alang-alang.
2.    Api (batuarang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
3.    Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan di bawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar (kelir) sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar di muka kelir alas duduk dalang
4.    Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang di atas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng  (4 ikat pada sebelah menyebelah).

       Adapun urutan-urutan ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat dahulu antara lain: 1) pembacaan do’a pembuka; 2) pembacaan cerita riwayat sang Hyangkala; 3) pembacaan pakem suntheg; 4) memasang tabeik dan membaca kidung sastra pinandhati; 5) membaca ‘sastra banyak dalang’; 6) membaca sastra gumbalageru; 7) membaca kidung sastra puji bayu; 8) membaca sastra kidung mandalagiri; 9) membaca satra kakancingan; dan 10) membaca sastra kakancingan yang merupakan penguncian kekuatan gaib, serta dilanjutkan dengan membuat rajah kalacaraka yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah yang diruwat.
Hal-hal tersebutlah yang dilakukan orang-orang Jawa Kuno untuk menghilangkan aib yang ada pada anak sukerta. Seiring dengan semakin pesatnya ilmu pengetahuan dan agama, maka hal-hal tersebut semakin ditinggalkan oleh masyarakat. Atau seandainya pun mereka masih melakukannya, mereka lebih memilih untuk melakukan “Ruwatan Santri”. “Ruwatan Santri” adalah ruwatan yang dilangsungkan sebagai penghilang kesialan atau kesengsaraan hidup seorang anak dengan ketentuan seperti diatas. Namun hal yang tampak mencolok sekali dari ruwatan zaman dulu (sebelum masuknya Islam) adalah dalam hal bacaan-bacaan yang dibaca ketika prosesi ruwtan berlangsung.  
          Ruwatan santri dilaksanakan tepat pada pukul 22.00 WIB di hari pernikahan anak dengan kriteria tersebut di atas. Prosesi ini dilakukan dengan pembacaan doa-doa untuk seseorang yang diruwat dan memandikannya dengan air kembang diakhir acara. Untuk menghilangkan “Bala” atau kesialan, seorang dengan kriteria tersebut diatas harus diruwat ketika melangsungkan pernikahan. Dalam acara ruwatan, peruwat membacakan Surat Yasin untuk si pengantin sebanyak 33 kali, Surat Al-Waqiah sebanyak 25 kali, Sholawat Nariyah 1000, dan diakhiri dengan membaca sholawat atas Nabi Muhammad SAW. sebanyak 4000 kali.
          Pembacaan doa-doa ini biasanya dilakukan oleh tiga atau empat orang. Setelah pembacaan doa-doa selesai, si pengantin yang sedang diruwat dimandikan dengan air kembang. Air kembang adalah air sumber yang berasal dari tujuh sumber mata air yang berbeda dan dalam air tersebut diisi dengan tujuh macam bunga yang berasal dari tujuh macam tanaman bunga yang berbeda. Selain itu, ketika memandikan si pengantin peruwat juga memandikan pengantin dengan menggunakan tujuh gayung yang berbeda.
          Sehari sebelum ruwatan dilaksanakan, si anak yang diruwat dipingit atau tidak diperbolehkan untuk keluar rumah seperti halnya pengantin putri yang dilarang keluar rumah saat menjelang pernikahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari bahaya kesialan yang mengancam si anak yang akan diruwat. Oleh karena itulah ruwatan santri yang merupakan pergeseran pemaknaan dari ruwatan sebelumnya masih sering dilakukan sampai sekarang meskipun nilai-nilai dan aturan-aturan yang dilakukan sudah sangat berbeda dari zaman dahulu.


2.    Analisis Ruwatan dengan Post-Strukturalisme
          Post-strukturalisme memandang bahwa makna tidak secara tiba-tiba hadir pada tanda. Post-strukturalis menganggap bahwa adanya makna pada tanda itu juga bergantung pada tanda-tanda yang lain. Atau secara singkatnya bisa dikatakan bahwa timbulnya sebuah makna tidak hanya merupakan hubungan dari dua unsur penanda dan yang ditandai saja melainkan ada hal-hal lain yang bisa menjadikan penanda tersebut mempunyai makna berbeda.  
          Orang-orang Post-Strukturalis memandang sesuatu dengan cara yang berbeda. Mereka tidak hanya memandang sesuatu seperti halnya orang-orang strukturalis yang menganggap sesuatu itu terjadi pasti dengan satu maksud tertentu. Seperti contohnya, ketika ada seorang wanita yang berkerudung di jalan, orang-orang strukturalis akan beranggapan bahwa orang tersebut adalah orang Islam. Mereka mencoba menggabungkan antara Islam dengan kerudung yang senantiasa menjadi sebuah simbol dari keislaman. Padahal, belum tentu orang yang memakai kerudung tadi adalah Islam. Hal inilah yang dibahas oleh orang-orang Post-Strukturalis.
          Orang-orang strukturalis mungkin beranggapan bahwa seorang wanita berkerudung tadi adalah seseorang yang terkena kanker otak sehingga ia mengenakan kerudung kemanapun dia pergi. Atau pemikiran lain yang bisa muncul dari pemikiran orang-orang strukturalis  adanya kebohongan yang dilakukan oleh seorang wanita berkerudung tadi. Mungkin sja wanita tersebut adalah orang Kristen yang menyamar menjadi orang Islam atas alasan tetentu sehingga dia memakai kerudung meski dia bukan orang Islam. Pemikiran-pemikiran seperti itulah yang mungkin muncul dari benak orang-orang Post-Strukturalis yang cenderung berpikiran bebas dan memandang sesuatu tidak hanya dari satu sudut pandang.
          Begitu pula dengan adanya ruwatan manten yang kerap terjadi di Desa Kuwolu. Masyarakat di desa tersebut mengaggap bahwa ruwatan secara keseluruhan tidaklah ada hubungannya dengan peristiwa jatuhnya air sperma Batara Guru sehingga lahirlah Batara Kala. Berdasarkan cerita orang-orangb terdahulu, Batara Kala lahir karena nafsu birahi Batara Guru kepada istrinya , Dewi Uma, saat mereka sedang berjalan-jalan menaiki lembu Andini melewati lautan luas pulau Jawa. Anak yang dilahirkan karena nafsu birahi yang tidak terkendali menjadikan anak yang dilahirkannya menjadi anak yang nakal dan jahat seperti Batara Kala.
          Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan pengetahuan masyarakat tentang Islam, maka lama-kelamaan budaya masyarakat tentang prosesi ruwatan pun mengalami pergeseran. Pergeseran yang terjadi bukan saja pada pemaknaan dari ruwat tersebut namun juga pergeseran pada aspek pelaksanaannya.
          Dalam aspek pemaknaan, orang-orang di zaman sekarang cenderung mengartikan ruwatan sebagai kegiatan adat yang biasa dilakukan tanpa ada suatu pemaknaan yang mendalam seperti halnya pada masyarakat dulu yang mengaitkannya dengan peristiwa Batara kala. Masyarakat sekarang cenderung menjalankannya hanya untuk mengikuti kebiasaan dari masyarakat di daerah tersebut. Mereka beranggapan bahwa meruwat seseorang dengan mengadakan pertunjukan wayang adalah hal-hal yang tidak bermanfaat dan hanya menghabiskan uang secara sia-sia. Apalagi kebanyakan dari masyarakat pada masa sekarang sudah tidak banyak lagi yang mengerti tentang pewayangan beserta dalang-dalangnya. Hal ini bisa juga disebut dengan degradasi kebudayaan yang makin lama semakin banyak terjadi.
          Sebaliknya, masyarakat sekarang cenderung berfikir realistis dan memandang sesuatu berdasarkan manfaatnya. Oleh karena itu mereka melaksanakan ruwatan santri yang dianggap lebih banyak memberikan manfaat. Mereka menganggap dengan adanya ruwatan santri maka mereka telah menggugurkan salah satu keharusan orang tua untuk menjauhkannya anaknya dari bahaya  atau bala’ ketika pelaksanaan pernikahannya.
          Adapun kriteria seseorang yang harus diruwat baik menurut oarang zaman dahulu maupun sekarang adalah sama. Salah satu pengantin yang harus diruwat ketika menikah adalah seorang anak perempuan seorang diri (tunggal). Seorang anak tunggal diruwat karena identiknya anak tunggal adalah anak yang sangat disayangi oleh kedua orang tuanya. Sehingga orang tuanya mampu dalam hal materi untuk melaksanakan ruwatan tersebut tanpa harus ada saudaranya yang iri untuk minta diruwat juga seperti ketika anak tersebut bukanlah anak tunggal.
          Pergeseran lain yang terjadi atas prosesi ruwatan adalah bergesernya cara melakukan ruwatan itu sendiri. Pada masa lampau, ruwatan dilaksanakan dengan cara menggelar penampilan wayang dan sang dalang membacakan mantra-mantra menggunakan bahasa Jawa bukan bahasa Arab seperti bacaan do’a-do’a yang dilakukan di masa sekarang.
          Di zaman dulu, seorang dalang berperan penting sebagai seseorang yang menyatu dengan alam untuk menyelamatkan si anak yang diruwat dari roh-roh jahat. Mantra-mantra yang diucapkan dalang pun adalah sebuah permintaan kepada makhluk-makhluk ghaib. Namun pada saat ini, si peruwat yang notabennya adalah seorang yang mengerti tentang agama (dalam hal ini adalah agama Islam) hanya berperan sebagai orang yang mendo’akan si anak agar di lindungi dari keburukan atau musibah yang mungkin akan menimpanya. Do’a-do’a yang diucapkan merupakan permohonan kepada Allah untuk kebaikan manusia.
          Secara rincinya, perbedaan bacaan-bacaan ataupun urutan-uruta yang dibaca pada pelaksanaan ruwatan zaman dulu dan zaman sekarang adalah sebagai berikut:
Ø Urutan dan bacaan-bacaan dalam ruwat pada masa dulu
a.   Dimulai dengan doa pembuka
b.  Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat sang Hyangkala, yang disampaikan dengan bahasa Jawa dan mirip dengan nyanyian
c.  Diteruskan dengan membaca pakem suntheg, pakem ini dimulai dilagukan
   “ Hung Ilaheng pra yoganira sang syang kamasalah tangerannya, kang daging sang kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika murud, amarab
d.  Setelah pakem suntheng selesai, dibacakan:
    Aneka akem prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter patertan pantaraalimaku tana suku, alembehan tanpa tangan, aninyali tanpa netra”
e.  Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca kidung sastra pinandhati: 
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya, yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu, yakangsiyu yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu, yusicangya, yanangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yakangsiyu yusihangya, yahangsiyu yusihangya.

f.       Diteruskan dengan membaca “sastra banyak dalang” lagu kentrung:
“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira linggih, den barung ran keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, sampurnaning banyak dalang”

g.    Diteruskan dengan membaca sastra gumbalageru, gemi atau api yang datang dari berbagai penjuru angin yaitu timur, selatan, barat dan utara disatukan dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan melakukan pembacaan.
h.   Diteruskan dengan kidung sastra Puji Bayu:
“Sang Hyang sekti naga nila wara, dadaku sang naga peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting limah, abebed kuliting singa, acawet angga genitri. Liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala akra, kinemiting panca resi, sinongsongan ash-asih premanaku ing sulasih”

i.    Diteruskan dengan kidung sastra mandalagiri:
Sang Hyang Tangkep bapak kasa, kaliyan Ibu pertiwi, mijil yogyanira sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi gerah, abra lir mustikamurub, urube marab arab, anakaken prabawa, ketuk lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa wutah-wutah, miring murup benceretan, kuu lumaku rinuwat iki, anata senajata singwang, arane-mandalagiri, sang Hyang Amarta arannya wus ruwat padha samengko.”

j.    Diteruskan dengan sastra kakancingan:
Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu samir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pokoninjog, untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan, tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak akengunung arane, mandalagiri, sang Hyang ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko

Ø Urutan dan bacaan-bacaan dalam ruwatan santri di masa sekarang
1.    Membaca Surat Yasin sebanyak 33 kali.
2.    Membaca Surat Al-Waqi’ah sebanyak 25 kali
3.    Membaca Sholawat Nariyah sebanyak 1000 kali, bacaannya:
أللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوىًج وتنال به الرغاىًب وحسن الخواتم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى أله وصحبه فى كل لمحة ونفس بعدد كل معلوم لك                                                                                                                                
4.    Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad SAW. Sebanyak 4000 kali, bacaannya:
اللهم صل على سيدنا محمد  وعلى أل سيدنا محمد
5.    Dan prosesi ini diakhiri dengan memandikan si pengantin dengan air yang telah dicampur dengan tujuh macam bunga seperti yang sudah disebutkan di di atas.

Demikianlah pemikiran dari orang-orang zaman sekarang yang cenderung berfikiran post-strukturalis yang memandang sesuatu tidak dari sudut pandang saja. Mereka mempunyai pemikiran yang hampir berbeda dengan tradisi ruwat pada awal adanya tradisi ini.





BAB III
KESIMPULAN

            Tradisi ruwatan yang dahulunya sering diselenggarakan oleh masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat desa Kuwolu pada khususnya adalah suatu tradisi untuk menghilangkan bahaya dari si anak yang diruwat. Dahulunya ruwat dilaksanakan dengan pembacaan mantra-mantra oleh sang dalang dalam pertunjukan wayang. Yang mana penampilan wayang tersebut merupakan bentuk simbolis alam jagat raya ini. 
            Pertunjukan wayang yang dahulunya sempat menjadi salah satu cara pembebasan diri dari Batara Kala, namun saat ini telah mempunyai makna yang berbeda di kalangan masyarakat. Masyarakat tidak lagi berasumsi bahwa Batara Kala adalah raksasa yang akan memangsa manusia, melainkan mereka berpikir bahwa seseoarang dengan kriteria tertentu perlu untuk ‘diruwat santri’ untuk menghilangkan bahaya pada anak tersebut dan tidak ada hubungannya dengan Batara Kala. 
 
 

DAFTAR PUSTAKA
Darmoko. 2002. Ruwatan: Upacara Pembebasan Malapetaka Tinjauan Sosiokultural Masyarakat Jawa. Makara, Sosial Humaniora Vol.6
Pratama, Dian Yudha, dkk. ___. Ruwatan. Semarang: Universitas Diponegoro
Huda, Khaerul. 2012. Tradisi Ruwatan Masyarakat Jawa. Diperoleh dari
Sulhanudin. 2010. Berkenalan dengan Post-Strukturalisme. Diperoleh dari

2 komentar:

  1. Maaf sblmnya ustad.sy mau bertanya, kok dipostingan google ada yg bilang klo ruwatan itu musyrik, itu gimana ustad mohon penjelasannya buat menambah wawasan ilmu

    BalasHapus
  2. Maaf sblmnya ustad.sy mau bertanya, kok dipostingan google ada yg bilang klo ruwatan itu musyrik, itu gimana ustad mohon penjelasannya buat menambah wawasan ilmu

    BalasHapus